T i k u s
Oleh: Ahmad Khoirus Salim
Pada
mulanya Pak Lurahlah yang tiba-tiba ingin sekali memelihara tikus. Bukan tikus
biasa, yang jorok dan menjijikkan, tetapi ini adalah tikus impor yang katanya
lebih bersih dan tidak berpenyakit, maklumlah tikus luar negeri.
Aku
sempat mengernyitkan dahi, aneh sekali keinginan pemimpinku itu. Ngapain, sih,
susah-susah memelihara hama itu? Mending melihara burung, ayam bangkok, kek, eh, ini malah… tikus. Walaupun
katanya impor, toh tetap saja sama bernama tikus, mouse, rat, mice. Hama penghancur produksi beras petani, perusak
tatanan, binatang menjengkelkan!
Mataku
semakin membulat melotot, sementara mulutku tak bisa kucegah untuk menganga.
Betapa tidak, hanya berselang dua hari setelah Pak Lurah, para bawahannya
ikut-ikutan keranjingan memelihara tikus. Entah hobi atau ewuh-pekewuh sama Pak
Lurah. Agar dikatakan berselera tinggi mungkin, atau agar punya muka di hadapan
Pak Lurah karena hobinya sama. Yang jelas mereka mulai beramai-ramai memborong
tikus, berbagai jenis, yang penting dari luar negeri, made in import.
Hiii,
aku sampai ngeri membayangkannya. Menaruh tikus di rumah? Bisa muntah aku
nanti. Rumahku harus bebas hama. Istriku paling anti dengan makhluk jorok itu.
Syukurlah, jadi tidak ada yang memaksaku memboyong pengerat itu ke rumah.
“Awas
kalau sampai Mas ikut-ikutan membeli tikus. Tiba di rumah langsung kupukul!”
istriku mengeluarkan ancamannya.
“Yang
kamu pukul aku atau tikusnya?”
“Ya
tikusnya dong, jijik tahu!”
“Lagipula
siapa yang ingin memiara hama itu sih, Dik?”
“Tapi
ngomong-ngomong mereka kok suka sekali hewan itu, ya? Heran aku.”
“Katanya
sih cuma buat nyalurin hobi, membudayakan sikap-sikap pada pemimpin. Katanya pula
hewan itu bisa menambah rezeki.”
“Ada-ada
saja. Jadi panutan kok malah aneh-aneh tingkahnya.”
“Kalau
tidak aneh kan tidak terkenal, seperti artis-artis di tivi itu. Kalau tidak
kawin-cerai, selingkuh, kan malah tidak diekspos media.”
“Tetapi
mereka itu jadi panutan harusnya, bukan tontonan hiburan semata.”
“Semua
sudah beralih fungsi, tuntunan jadi tontonan, pun sebaliknya. Dunia
jungkir-balik.”
“Apa
yang bisa kita perbuat?”
“Sementara
tak ada, kecuali menggerutu dan mencaci-maki dalam hati… karena kita orang
lemah. Kecuali… seluruh warga desa ini bersatu.”
Istriku
mendesah kecewa. Orang lemah, rakyat jelata, memang selalu tak punya daya
upaya. Tak mampu melakukan perubahan. Bahkan seringkali dianggap batu sandungan
dalam pembangunan. Terjaga dari mimpi pun tak sanggup. Melulu dibuai angan dan
hayalan. Habis gelap tak terbit juga terang. Hutang menumpuk kadang sulit bukan
main untuk membayarnya.
**
Sarapan
pagi ini, nasi dingin berteman sebungkah tempe sisa tadi malam. Lotek sayur yang baru dibuat istriku, alhamdulillah,
bias menenteramkan perut yang merintih perih. Sempat kutoleh kanan-kiri, banyak
yang tidak makan pagi ini.
Tiba-tiba
pikiranku terantuk pada sebuah memori yang membuatku dijejali rasa iri. Kulihat
kemarin dia sarapan roti-roti yang terhitung mahal untuk ukuranku, juga sayuran
segar. Penuh gizi dan nutrisi. Kandangnya sendiri dari kuningan berukir sungguh
indah. Berbanding 180 derajat dengan keadaanku. Namun, segera kutepis pikiran
buruk ini. Tak mungkin manusia dibandingkan dengan tikus, aku dalam wujud yang
jauh lebih sempurna.
Hari-hari
berlalu demikian resah, hidup semakin sulit untuk disapa. Aku melihat
tetangga-tetanggaku juga demikian adanya. Poyang-paying. Seret. Rezeki yang
terhampar di tanah, air, dan udara sulit sekali meraihnya.
Rasa
iri dan benci pada tikus-tikus milik aparat itu ternyata bukan hanya milikku
semata. Semua tetanggaku, hampir seluruh warga kampung merasa serupa. Sayang
tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika Pak Lurah dan para bawahannya lebih
mementingkan hobi daripada mengurus warganya yang mulai tak karuan hidupnya.
Tikus-tikus itu semakin gemuk. Sebaliknya para warga kampung semakin
bertonjolan belulangnya. Muka pucat kurang gizi, perut lapar membusung. Para
tikus tertawa dan kami tenggelam merana dalam lara dan air mata.
Suatu
sore yang redup, saat kami berkerumun di sebuah warung kopi…
“Bagaimana
kalau kita unjuk rasa saja?” seorang tetangga mengusulkan. Kami terhenyak
sejenak namun segera mafhum, itu ungkapan kejujuran.
“Demo?
Bagaimana caranya?”
“Kita
tinggal kumpulkan warga, rapat, buat tulisan-tulisan dari kardus, beres sudah.”
“Siapa
yang akan mengoordinir semuanya? Bukankah harus ada pemimpin dan persiapannya?”
aku ikut bertanya.
“Bagaimana
kalau kamu? Kamu yang lebih pandai daripada kami, sekolahmu paling tinggi.”
tetanggaku menunjukku. “Bagaimana yang lain? Setuju?”
“Ya,
ya, setuju.”
“Ta…
tapi?”
“Sudahlah,
semua sudah setuju kamu yang memimpin kami. Kamu pasti bisa!”
Aku
tercekat. Di pundakku kini terbeban harapan-harapan mereka. Tak kuasa aku
menolak. Wajah-wajah kuyu warga kampung yang penuh harap. Sinar-sinar mata
penuh permohonan. Aku harus berjuang untuk mereka. Rasa geramku pada ikus-tikus
itu semakin menjadi. Merekalah biang semua masalah di kampungku. Mereka harus
dimusnahkan demi ketentraman warga.
*
*
Tibalah
hari yang sudah ditentukan. Hanya satu tuntutan saja, PERHATIKAN WARGA DAN
BUANG TIKUS-TIKUS ITU! Tidak muluk-muluk.
Barisan
diatur dengan rapi. Sebagai korlap, aku bertanggung jawab penuh pada kelancaran
unjuk rasa ini. Senantiasa kupanjatkan doa agar tidak terjadi hal yang tak
diinginkan.
Pada
mulanya demo berjalan dengan tertib. Warga duduk dengan tenang sambil
mendengarkan orasi. Beberapa orang membacakan tuntutan satu-persatu. Ada juga
yang membacakan puisi. Sekelompok pemuda berparodi, juga pantomim, melukiskan
situasi kampung yang kacau.
Melihat
sikap tenang warga, aku sedikit bernapas lega. Aku optimis ini akan berjalan
lancar.
Namun,
ternyata perkiraanku salah. Beberapa orang yang tidak kukenal mencoba merangsek
barisan keamanan. Terjadi dorong-mendorong yang sengit. Aku yakin orang-orang
itu bukanlah warga kampungku.
Provokator!
Desisku marah. Segera aku berteriak-teriak ke arah mereka. Kuminta agar
semuanya kembali tertib. Namun, suaraku kalah oleh dengusan dan teriakan emosi
mereka. Sia-sia aku mengeraskan suaraku.
Dorong-mendorong
semakin tak terkendali. Warga mulai terpancing emosinya. Mereka ikut merangsek
maju. Kacau balau. Aku terduduk lemas. Hancur sudah demonstrasi ini gara-gara
segelintir provokator edan, kacau!
Suasana
sudah semakin menegangkan. Warga yang emosi mulai melempari kantor kelurahan.
Batu, balok kayu, potongan besi, beterbangan menghajar kaca-kaca jendela kantor
kelurahan. Pada saat itulah muncul satu truk pasukan keamanan dari kota.
Bersenjata lengkap dan sangar.
Dar…der…dor…
Berkali-kali
tembakan peringatan meletus di udara. Warga mulai panik dan kocar-kacir
berlarian ke sana kemari. Beberapa tertangkap dan digelandang ke truk.
Aku
pun mencoba untuk kabur. Terlambat, dua orang anggota keamanan berhasil
menangkapku. Aku digelandang menuju truk. Kami dianggap biang keonaran, pemicu
kerusuhan. Kami terdiam membisu. Hanya doa yang terus mengalir. Kami yakin atas
kebenaran yang kami suarakan.
*
*
Ruang
pengap sempit bau pesing tak karuan dan berterali besi, tempatku dikurung
sekarang. Batinku merintih. Inikah rasanya penjara itu? Kutatap sekeliling,
beberapa tetanggaku bernasib serupa, sayu menatap kosong tanpa cahaya.
Terbayang
wajah istriku yang cemas. Pasti dia sangat kebingungan sekarang. Kenapa tak
kuikuti sarannya tempo hari? Dia tegas melarangku turut campur dalam demo itu.
Maafkan aku istriku, andai kuikuti saranmu saat itu. Namun, aku juga tak ingin
dicap pengecut yang tak bertanggung jawab.
Sesal
tinggal sesal. Kini hanya bisa kuhitung hari dalam sepi. Vonis untukku belum
dijatuhkan. Ah, sebuah perjuangan konyol, perjuangan yang sia-sia. Betapa
sangat hausnya dada ini pada aroma kebebasan. Samara-samar aku melihat
bayang-bayang para tikus itu di tembok kusam penjara. Menyeringai sinis dengan
tubuh tambun. Muak sekali rasanya melihat mereka. Ingin segera kubunuh dan
kubakar habis mereka.
Mereka
menyeringai dan berkata padaku sinis, “Hanya angan kalau kau ingin
memusnahkanku anak muda, selama masih ada yang menyukai dan memelihara kami.”
Tuhan…!
Keterangan: Cerpen ini dimuat di Harian Bengkulu Ekspress, edisi Rabu, 17 Maret 2017.
Mantap :D
BalasHapus