Ilustrasi wayang Abimanyu |
==========================
Baca juga ceritaku di KBM App ya 😊
“Bagaimana Tun, tentang tawaranku tadi? Pak Harja
menatap Atun sembari membenahi letak kacamata tebalnya.
Atun masih juga tertunduk. Tiada keberanian menatap
balik ke wajah Pak Harja. Wajah yang selalu dikaguminya. Hening. Hingga detak
detik jam dinding terdengar amat jelas. Tik… tik… tik… tak putus-putus. Kecuali
berkeloneng saat nanti menunjuk pada pukul tertentu, mengingatkan waktu yang terus melaju. Pak Harja
sudah sangat gelisah menunggu seperti ini. Diliriknya arloji di pergelangan
tangannya, hampir Maghrib,
sudah sejam lebih rupanya dia menunggu.
“Tun, jawablah. Bapak tidak bisa menunggu lebih lama
lagi,” desaknya lagi.
Dengan masih menunduk, Atun akhirnya mengeluarkan
jawabannya. Meski hal itu dilakukannya dengan agak tersendat dan parau.
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bisa menerimanya. Saya
belum siap. Saya takut akan mengecewakan dia nantinya. Maafkan….”
Pak Harja tidak berkata-kata lagi. Sepertinya dia sudah
menduga akan begini jadinya. Perangai Atun semenjak dia datang tadi telah
menyiratkan penolakan. Sedikit jengah dia saat ini. Aduh, sendi-sendinya serasa
terlolosi seluruhnya. Lemas tiada daya.
Jika begini akhirnya, apa yang akan dikatakannya nanti
pada Abimanyu? Dibayangkannya bergumpal-gumpal kekecewaan akan terhampar di
wajah Abimanyu. Pak Harja menarik napas berat. Dia mencoba membuyarkan lamunan
tentang anak angkat lelakinya itu.
“Ya sudahlah, Tun. Sekarang kamu pulanglah dulu. Jangan
merasa terbebani oleh permintaanku tadi ya… Besok kembalilah bekerja layaknya
biasa. Bapak tidak marah sama sekali kepadamu.”
“Iya Pak, terima kasih.”
Cekak saja jawaban itu.
Toko kelontong itu pun kembali sepi. Toko terbesar di
kampung, kepunyaan Pak Harja itu, telah ditinggal satu per satu karyawannya,
kecuali dua orang penjaga. Tinggal Atun karyawan yang terakhir. Gara-gara
urusan tadi ia mesti terlambat pulang. Lekas-lekas pula ia menghambur pulang
seiring petang yang merangkak. Sayap kelelawar mulai menebah-nebah udara kelam.
##
Pak Harja terpaku di kursinya. Apa yang harus
dikatakannya pada Abimanyu nanti? Lagi-lagi pertanyaan itu yang menyeruak.
Abimanyu, anak angkat yang sangat dikasihinya. Abimanyu kecil dulu mulai diasuhnya
saat kedua orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan bus yang ditumpanginya.
Keduanya masih terhitung saudara jauhnya.
Ditimang-timang, diasuh layaknya buah hati sendiri,
itulah tindakannya pada Abimanyu kecil. Demikian besar rasa cinta itu. Apalagi,
semenjak kematian istrinya beberapa tahun lalu, hasratnya untuk beristri lagi
seakan memudar. Entahlah, seperti trauma yang terus saja menghantuinya. Jadilah
Abimanyu tumpuan curahan kasih sayang satu-satunya, hingga kini Abimanyu sudah menginjak
dewasa.
Selama ini, Abimanyu dikenalnya sebagai anak penurut dan
baik, pun tidak banyak tingkah. Pak Harja demikian bersyukur. Pilihannya pada
Abimanyu dulu tidaklah salah. Abimanyu menjadi harapan masa depannya. Dialah
yang akan mewarisi seluruh miliknya kelak.
Seiring usia Abimanyu yang semakin dewasa, pernah Pak Harja
menanyakan kapan dia hendak menikah. Abimanyu hanya tersenyum-senyum kala itu.
Sepertinya, dia sangat sungkan untuk berterus terang pada ayah angkatnya tersebut.
Namun, Pak Harja menangkap ada isyarat lain. Abimanyu memang menaksir
seseorang, tapi hal itu masih tersimpan rapat di hatinya.
Perlahan-lahan, Pak Harja mulai mengorek informasi siapakah
gadis yang didambakan Abimanyu. Akhirnya, dari bisik-bisik para anak buah yang
menjaga toko kelontongnya, dia mengetahui siapakah gadis itu sebenarnya. Gadis
itu tak lain adalah Atun. Gadis itu memang pendiam dan beraut manis. Pak Harja
bertekad membantu Abimanyu mendapatkan bunga pujaannya itu.
Lalu…
Entah mengapa jadi seperti ini kenyataannya? Atun dengan
halus menolak Abimanyu. Pak Harja tidak habis mengerti. Apa yang kurang dari
Abimanyu? Menurutnya anaknya itu cukup tampan, gagah, serta berkepribadian
menawan. Apalagi? Lagipula, secara materi Abimanyu juga tak kekurangan.
Bukankah Atun tahu kalau Abimanyu pewaris miliknya nanti? Atau Atun tak tahu
hal itu, karena Abimanyu hanya anak angkatnya?
Masih kurangkah semua itu di mata Atun? Ah, pikiran
perempuan memang kadang sulit dipahami. Penuh lika-liku misteri. Perasaan kadang jauh lebih mendominasi
daripada pertimbangan logika.
Pak Harja tak jua beranjak dari duduknya. Sebentar lagi
Abimanyu pulang. Dia memang sedang ikut kursus montir di kecamatan. Pak Harja
sebenarnya menghendaki Abimanyu kuliah. Namun, Abimanyu menolak. Kuliah mahal
dan belum tentu bisa langsung bekerja seusai lulus nanti, alasan Abimanyu kala
itu. Ah, Abimanyu… Abimanyu… kau selalu saja bijaksana dalam menentukan
pilihan. Tapi, kenapa Atun sampai menolak?
Abimanyu datang dan langsung mencium tangan ayah
angkatnya. Wajahnya tampak tersaput keletihan dan berkilat-kilat. Namun,
senyuman tak lepas-lepas dari bibirnya. Amat pantas Pak Harja begitu
menyayanginya.
“Mandilah dulu, nanti kita makan bersama-sama,” Pak Harja
mengusap pundak Abimanyu.
Tirai malam sempurna mengurung. Gelap dan pekat.
“Bagaimana kursus yang kamu ikuti?”
“Lancar-lancar saja, Pak. Mudah-mudahan bulan depan
sudah bisa selesai.”
“Oh, bagus sekali. Mmm… Abimanyu anakku, tidakkah kamu
berkeinginan segera beristri?”
“Ah Bapak, hidup saya saja masih belum mandiri.
Bagaimana nanti saya bertanggung jawab pada istri saya?”
“Rezeki seseorang kan tidak disangka-sangka datangnya.
Tuhan Maha Kaya. Kenapa masih kamu takutkan?”
“Sebenarnya, saya mencintai seseorang, tapi…”
“Kamu masih ragu?”
“Ya, bisa dikatakan seperti itu. Saya belum sepenuhnya
yakin.”
“Atunkah gadis itu?”
Amat terkejut Abimanyu dengan ucapan terakhir ayah
angkatnya itu. Sendok yang hendak menyungkah nasi pun sontak terhenti. Dengan
raut kebingungan dia tak henti menatap muka Pak Harja.
“Kenapa Bapak tahu?”
“Telinga bisa mendengar, mata pun bisa melihat apa saja.
Firasat juga bisa menafsirkan apa yang tersirat. Aku masih peka untuk membaca
perlambang-perlambang itu anakku. Tidak ada yang salah dengan perasaanmu, hanya
saja…”
“Kenapa Bapak?”
“Dewi keberuntungan rupanya masih jauh dari kita. Tadi
dia berkata padaku, dia belum bisa menerimamu.”
Bergetar tubuh Abimanyu. Apa yang baru saja didengarnya
terasa bagai ribuan anak panah yang menghajar dan melumat tubuhnya. Sakit.
Pilu.
“Maafkan Bapak, anakku. Bapak tadi bersungguh-sungguh
menawari Atun agar bersedia menjadi istrimu kelak. Aku tahu pasti engkau akan
sulit mengatakannya sendiri. Dengan keyakinanku sendiri, aku lancang
menanyakannya pada Atun. Dan… seperti itulah jawabannya.”
Hening, tak ada jawaban.
Malam pun terus melaju dingin. Kelelawar masih menebah-nebah
udara malam dengan sayapnya.
Dua bulan berselang. Abimanyu bersiap-siap dan mengemasi
barang-barangnya. Tekadnya telah bulat. Dia akan merantau ke Kalimantan.
Mencari kehidupan yang mandiri. Meninggalkan ayah angkatnya, kampungnya,
terutama masa lalunya, Atun.
Pak Harja, bagaimanapun sedihnya, tak mampu membendung
tekad bulat Abimanyu.
“Hati-hatilah anakku. Segera kirim kabar jika sudah
sampai di tujuan.”
“Jangan khawatir, Bapak. Saya tidak akan lupa selalu
berkirim kabar. Tolong juga saya lekas diberi kabar pabila Atun nanti sudah
menikah. Seperti janji yang telah saya ucapkan, saya tidak akan pulang sebelum
Atun menikah.”
Dengan hati hancur Pak Harja melepas kepergian Abimanyu.
Anak kebanggaannya kini pergi dari pelukannya. Namun, dirinya akhirnya sadar.
Tetap tinggal di kampung hanya akan menyiksa batin Abimanyu. Setiap hari dia
akan bersua dengan Atun. Apalagi jika menyaksikan Atun menikah nanti. Tentu hal
itu akan sangat mengiris-iris hatinya.
# #
Kini, Pak Harja kembali berhadapan dengan Atun. Ada
keinginan yang kuat di benaknya, dia harus tahu apa sebetulnya alasan Atun
hingga sampai menolak Abimanyu. Masuk akalkah? Atau sekadar emosi sesaat? Atau
mungkin sudah ada calon lain yang tersedia untuknya?
“Atun, sekarang Abimanyu sudah pergi jauh. Tidak ada
yang perlu kau jadikan alasan untuk sungkan. Jujurlah pada Bapak apa sebenarnya
alasanmu menolak Abimanyu jadi suamimu? Tidak usah sungkan atau takut. Bapak
berjanji tak akan memarahimu atau memecatmu. Katakanlah…”
“Benarkah Bapak tidak akan marah?”
Keragu-raguan Atun terlihat jelas di roman mukanya.
“Iya, katakanlah.”
“Sesungguhnya sayalah yang sangat tidak tahu diri, Pak.
Dari dulu, saya selalu bermimpi untuk membahagiakan keluarga saya. Bapak tahu
sendiri kan keadaan ekonomi keluarga saya.
Saya ingin bersuamikan seseorang yang mapan. Tidak peduli siapa pun dia.
Saya rela demi kebahagiaan keluarga saya.”
“Hmmm, Berarti kamu sudah punya calon suami, kan? Lalu
siapakah calon suami yang kamu harapkan itu? Tenang saja, bapak tidak akan
membuka hal ini pada siapa pun. Anggaplah bapak sebagai ayahmu sendiri.”
Sejenak hening. Bisu dan kaku.
“Saya… saya mencintai Bapak... Bukan Abimanyu.”
Duh Gusti, betapa
gila cerita hidup ini. Pak Harja hampir terhuyung pingsan mendengar
pengakuan jujur anak buahnya itu. Jadi… jadi… selama ini?
Senyuman indah Atun, kerlingan matanya yang sering
beradu dengan mata Pak Harja, sapaan malu-malunya, perhatiannya yang terkadang
terlalu tinggi, jadi, semua itu untuk dirinya?! Oalah… ini benar-benar edan!
Abimanyu, apa yang
hendak kukabarkan padamu? Haruskah nanti ada surat undangan dari ayah untuk
anaknya sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
~ Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini. Komentar Anda sangat berharga bagi saya. Jangan ada spam, SARA, pornografi, dan ungkapan kebencian. Semoga bermanfaat. ~