Oleh: Ahmad Khoirus Salim
Titik-titik embun masih menetes di sela sejuknya hembusan angin pagi. Mentari belum secuil pun menyunggingkan senyum hangatnya. Kabut pelan merayap dan mulai menghilang, menelusup di antara lebat dedaunan pinus. Rumi mencoba untuk terus berlari, berlari, dan berlari. Telapak kakinya berdarah-darah karena teriris tajamnya bebatuan kali dan duri-duri semak serta ranting-ranting yang runcing. Namun hal itu tak sedikit pun meretaskan niat hatinya untuk keluar dari barak terkutuk itu. Hangatnya keringat yang menetes dari pori-porinya semakin mengukuhkan niatnya. Aku harus terus berlari.
##
Desa Kluwung yang menawan, menawarkan selaksa pesona. Desa Kluwung yang dikenal sebagai penghasil sayur mayur utama sekota kabupaten. Namun, rupanya segala anugerah melimpah itu belum mampu memantapkan hati seorang warganya.
Rumi, gadis desa yang mulai beranjak dewasa itu telah mulai menata rutinitasnya. Setiap hari, ia senantiasa berkutat dengan pekat kabut dan dingin udara pagi. Ia beriring jalan dengan emak dan bapak menuju kebun sayur mereka. Ia pun menjalani seperti biasa, memetik, memilah, mencuci, kemudian menjual sayuran segar hasil kebunnya ke pasar desa.
Rutinitas itu terus ia jalani. Kadang bosan, jenuh, kadang pula tersenyum puas bila semua hasil kebunnya habis terjual. Jenuh dan bosan kerap hinggap bila dirinya melihat di depannya, kanan kirinya, hanyalah hamparan sayur-mayur belaka. Akankah panorama Desa Kluwung ini yang aku nikmati selamanya? Protes hati kecilnya, jujur dan menyakitkan.
Rumi merasa bisa mencari sumber hidup yang lebih baik di luar Desa Kluwung. Dia sudah lulus dari SMA kecamatan sejak satu tahun lalu. Ia merasa ijazah itu bisa menjadi bekal yang cukup. Baca tulisnya pun lancar. Bahkan nilai matematika UN-nya berada dalam jajaran tiga besar di sekolah.
Teman-teman wanita seusianya sudah banyak yang kawin. Wajar dan seperti sudah menradisi di Desa Kluwung, setelah tamat SMA atau Madrasah Aliyah lebih baik kawin. Ia sendiri sudah pernah hendak dilamar oleh tetangga desa. Suparno namanya. Namun, Rumi masih merasa belum siap. Ia menolak dengan halus. Untunglah Bapak, Emak, dan keluarga Suparno mau mengerti. Saat itu Rumi beralasan masih hendak belajar lagi. Meskipun sampai sekarang angan itu belum jua terlaksana. Lagipula hal itu tak lazim di Desa Kluwung.
Bapak dan Emak tidak pernah memaksanya harus begini atau begitu. Meski begitu Rumi tahu diri. Hidup di desa, seorang anak gadis tidak boleh bertingkah sesuka hati. Usia 30 tahun belum juga menikah bisa dianggap tak laku, perawan tua kasarnya. Walaupun mungkin sudah ketetapan hati, tetapi di mata masyarakat desa itu bisa jadi pamali. Serba salah.
Selain masalah kehidupan yang lebih layak, pemikiran Rumi sepertinya juga tidak mau dikungkung dengan cara dan kebiasaan Desa Kluwung. Apakah pendidikan di sekolah mempengaruhinya? Ia pun tak bisa menjawab pasti. Yang pasti Bapak dan Ibu Guru di sekolahnya dulu selalu menyarankan agar Rumi melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah di kota provinsi.
Kepulangan Mbak Parti, seorang tetangga, yang usai bekerja dari negeri jiran semakin mengoyak teguh pendirian Rumi. Dilihatnya Mbak Parti demikian anggun dengan dandanan busana terbaru. Giwang, kalung, dan gelangnya berdencing-dencing seakan bernyanyi. Terbit kekaguman dalam hati Rumi. Baginya Mbak Parti adalah cerminan kesuksesan.
Mbak Parti dulu hanyalah tamatan SMP. 5 tahun lalu ia berangkat ke negeri jiran, menjadi pembantu rumah tangga katanya. Dalam pikiran Rumi, kalau tamatan SMP saja bisa sukses, tentu ia yang tamatan SMA bisa berbuat lebih.
Angan-angan Rumi terus melambung tinggi. Iming-iming dari Mbak Parti terus menggodanya.
##
“Rumi, kenapa kau belum kunjung tidur, Nduk? Tak baik wanita tidur terlalu malam, pamali.”
Emaknya sedikit gusar melihat Rumi duduk diam di kasur sembari memeluk kedua kakinya. Rumi tersenyum kecut. Ia mencoba tak memancarkan kegundahan dari mukanya. Ia tak tega sama sekali melihat muka emaknya yang sudah berkerut dan kelihatan semakin tua.
“Aku menikmati sinar rembulan itu, Mak.”
“Ah, kau ini ada-ada saja. Sudahlah sana cepat tidur, besok kita mesti bangun subuh seperti biasanya.”
Rumi akhirnya menurut. Ditutupnya jendela yang tadi sedikit dibukanya dan menangkupkan korden lusuhnya. Kemudian, ia membenamkan tubuh dalam selimut. Matanya yang belum ingin terpejam dipaksa-paksakannya menutup.
Sayup-sayup terdengar suara jangkerik dan serangga-serangga malam menyayat hening. Jauh di sana, ada jerit katak seperti mengiba memohon turunnya hujan.
##
Kembali, adzan Subuh mengumandang memecah sunyi Desa Kluwung. Rumi terjaga seperti biasanya. Tak lama, ia telah membasuh badan dengan kesegaran wudlu, meski kadang ia masih menggigil bergemeletuk.
Berbekal keranjang besar, ia kembali melewati harinya. Memetik, memilah, mencuci, kemudian menjual sayur ke pasar kecamatan, seperti biasanya. Batinnya menjerit lirih. Dilematis. Ia tak tega jika melihat emak dan bapaknya terus seperti itu tanpa ia bantu, pun ia tak kuasa menatap suram masa depannya.
##
Rumi merasa sendiri di tengah hiruk-pikuk pasar. Dipandanginya seja emaknya yang sedang sibuk menata sayur. Sesosok wanita tua yang tegar. Dia tak pernah mengeluh pada kehidupan, pada nasib, pada keadaan. Tiba-tiba Rumi merasa malu hati. Akankah aku setegar emak?
Coba diikutinya emak yang menata sayur mayur, walaupun hatinya sendiri sedang tak tertata. Saat ini ia kacau balau. Tidak! Aku tidak mau terus-menerus seperti ini. Aku harus bisa berubah, harus!
Tetapi, mampukah ia meninggalkan Desa Kluwung?
##
Secercah senyum menghiasi bibir Rumi. Pekan depan adalah hari yang paling ditunggunya. Hari itu adalah hari yang akan mengubah sejarah hidupnya. Betapa tidak, keinginannya untuk mengubah nasib akan segera terkabul. Dia tidak akan selamanya dikelilingi hamparan sayur mayur menyesakkan jiwa itu.
Berbekal petunjuk dari Mbak Parti, Rumi mendapatkan informasi tentang pekerjaan di luar negeri. Keinginannya untuk bisa mengadu nasib di negeri orang sudah demikian menggebu. Malaysia adalah negeri yang didambanya. Betapa menggiurkan cerita tetangga sepulang bekerja dari sana. Dia bisa mendapat banyak uang, membikin rumah, hingga nanti bisa mengentaskan Emak dan Bapak dari hamparan sayur mayur yang membelenggu itu. Impiannya selama ini terasa semakin dekat.
“Kalau memang itu kemauanmu sendiri, Nduk, Bapak dan Emak manut saja. Kamu sudah dewasa, sudah mampu menentukan arah lakumu sendiri. Hanya saja ingatlah, selalu baik-baik menjaga diri di negeri orang. Berdoalah selalu pada Gusti, mohon perlindungan dan pertolongan-Nya selalu. Kamu sendirian tiada sanak di sana, Nduk.”
Bapak didampingi Emak bernasehat panjang lebar pada Rumi. Walau sangatlah berat, mereka berdua merelakan juga si bungsu itu pergi. Air mata yang hendak menetes sekuat tenaga mereka bendung. Biarlah membanjir dalam hati. Meski dari mata Emak menitik juga rasa sedih yang meleleh. Mereka tak sampai hati menggoyahkan impian Rumi. Ia sudah mantap!
##
Roda nasib terus berputar cepat dan tiada peduli. Terkadang nasib ada di atas, terkadang menggelinding jauh ke bawah, melibas lindas angkuh sombong manusia.
Rumi terjaga dari lelap mimpi. Gigitan nyamuk sedari tadi mengganggunya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan barak penampungan, rupanya mereka juga masih tertidur.
Mereka, yang punya keinginan sama seperti dirinya. Mereka ingin mencari napas baru yang lebih baik. Di negeri sendiri mereka seolah tiada harapan lagi. Mereka lebih mengharap pada matahari yang seolah bersinar lebih terang di seberang. Mereka orang-orang hebat yang berani meretas rintangan, mencoba mengukir harapan.
Mereka, termasuk Rumi, sedang menunggu diberangkatkan dari barak penampungan. Sudah tiga hari mereka terkatung di penampungan. Menurut janji penyalur, dua hari lagi mereka akan segera diberangkatkan.
Rumi menuruni tangga barak. Terbiasa bangun di Subuh hari, ia hendak mengambil air wudlu dan segera menunaikan salat. Diingatnya selalu pesan Emak dan Bapak agar selalu memohon pada Gusti Ingkang Maha Welas Asih.
Namun, langkah Rumi tiba-tiba terhenti. Telinganya menangkap sesuatu yang menyentak jiwa raganya. Saat itu, ia mendengar suara dua orang lelaki, yang ia kenali sering mondar-mandir di depan barak penampungan sebagai penjaga, tengah berembug dengan seseorang yang tak ia kenal. Mereka terdengar sedang merencanakan sesuatu. Sambil mengendap-endap, ia mencoba memperjelas pendengarannya. Keremangan subuh membantu menyembunyikan tubuhnya.
“Kapan mereka akan dikirim? Bos sudah lama menunggu, tau!”
Orang yang tak ia kenal itu bertanya kepada kedua penjaga barak penampungan.
“Kemungkinan besok malam lah. Aku tidak mau berisiko dengan polisi. Kamu tahu sendiri kan saat ini sulitnya bukan main menembus mereka?”
“Oke. Tenang saja. Wanita-wanita itu pasti dihargai mahal oleh bos. Setelah mereka sampai di Thailand dan Jepang, bayaranmu akan segera ditransfer.”
“Lalu, bagaimana dengan resiko keamanan di perjalanan nanti? Aku minta bagian lebih untuk itu.”
“Itu bisa diatur lah. Oke, kalau begitu, aku cabut dulu. Awas jangan sampai ada yang curiga! Juga jangan sampai ada yang lepas, bahaya kita nanti.”
“Siap, Bos.”
Mendadak tubuh Rumi bergetar hebat. Jepang? Thailand? Bukankah aku tak pernah mendaftar ke dua negara itu? Kenapa pula kedua penjaga itu harus takut berurusan dengan polisi?
Otak Rumi berkecamuk. Bagaimana sekarang? Tiba-tiba, dia merasa sangat rindu dan bersalah pada emak dan bapak. Wajah Emak, Bapak, panorama Desa Kluwung, lukisan hamparan kebun sayur yang luas berdesingan di pikirannya kini. Emak dan bapak seolah memanggil-manggil, pulanglah, Rumi, pulanglah sayang …
Rumi bergegas menyibak gelap Subuh. Ke mana? Ia pun tak tahu. Yang penting, ia segera menjauh dari tempat itu. Lekas-lekas menjauh. Ia menyibak ilalang setinggi dadanya, menyibak lebat semak-semak yang menorehkan luka di kedua tangannya, ia masuk ke dalam hutan pinus. Rumi baru tersadar, barak penampungannya terletak layaknya persembunyian saja, jauh sekali dari pemukiman penduduk. Rumi berlari dan terus berlari.
Rumi baru terhenti ketika kaki kirinya tak sengaja terantuk sebatang pinus yang tumbang, persis di tepian jalan raya. Seketika, sekeliling terasa berputar semakin cepat baginya. Pohon-pohon pinus berkelebat sangat cepat mengepungnya. Kegelapan semakin bertambah gelap hingga akhirnya hilang semuanya. Ia terkapar di tepian aspal.
##
Di ruangan serba putih bersih, dengan orang-orang berseragam putih-putih pula, Rumi terbaring tak berdaya. Wajahnya pucat pasi bagai kapas. Ketika perlahan ia membuka mata, sontak gembiralah orang-orang berseragam di sekelilingnya.
“Alhamdulillah, dia sudah siuman.”
“Cepat panggil dokter!”
Rumi tak begitu peduli, ia sudah sangat rindu dengan Bapak, Emak, dan Desa Kluwung.
*Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen Lazuardi Pemikat hati.
Titik-titik embun masih menetes di sela sejuknya hembusan angin pagi. Mentari belum secuil pun menyunggingkan senyum hangatnya. Kabut pelan merayap dan mulai menghilang, menelusup di antara lebat dedaunan pinus. Rumi mencoba untuk terus berlari, berlari, dan berlari. Telapak kakinya berdarah-darah karena teriris tajamnya bebatuan kali dan duri-duri semak serta ranting-ranting yang runcing. Namun hal itu tak sedikit pun meretaskan niat hatinya untuk keluar dari barak terkutuk itu. Hangatnya keringat yang menetes dari pori-porinya semakin mengukuhkan niatnya. Aku harus terus berlari.
##
Desa Kluwung yang menawan, menawarkan selaksa pesona. Desa Kluwung yang dikenal sebagai penghasil sayur mayur utama sekota kabupaten. Namun, rupanya segala anugerah melimpah itu belum mampu memantapkan hati seorang warganya.
Rumi, gadis desa yang mulai beranjak dewasa itu telah mulai menata rutinitasnya. Setiap hari, ia senantiasa berkutat dengan pekat kabut dan dingin udara pagi. Ia beriring jalan dengan emak dan bapak menuju kebun sayur mereka. Ia pun menjalani seperti biasa, memetik, memilah, mencuci, kemudian menjual sayuran segar hasil kebunnya ke pasar desa.
Rutinitas itu terus ia jalani. Kadang bosan, jenuh, kadang pula tersenyum puas bila semua hasil kebunnya habis terjual. Jenuh dan bosan kerap hinggap bila dirinya melihat di depannya, kanan kirinya, hanyalah hamparan sayur-mayur belaka. Akankah panorama Desa Kluwung ini yang aku nikmati selamanya? Protes hati kecilnya, jujur dan menyakitkan.
Rumi merasa bisa mencari sumber hidup yang lebih baik di luar Desa Kluwung. Dia sudah lulus dari SMA kecamatan sejak satu tahun lalu. Ia merasa ijazah itu bisa menjadi bekal yang cukup. Baca tulisnya pun lancar. Bahkan nilai matematika UN-nya berada dalam jajaran tiga besar di sekolah.
Teman-teman wanita seusianya sudah banyak yang kawin. Wajar dan seperti sudah menradisi di Desa Kluwung, setelah tamat SMA atau Madrasah Aliyah lebih baik kawin. Ia sendiri sudah pernah hendak dilamar oleh tetangga desa. Suparno namanya. Namun, Rumi masih merasa belum siap. Ia menolak dengan halus. Untunglah Bapak, Emak, dan keluarga Suparno mau mengerti. Saat itu Rumi beralasan masih hendak belajar lagi. Meskipun sampai sekarang angan itu belum jua terlaksana. Lagipula hal itu tak lazim di Desa Kluwung.
Bapak dan Emak tidak pernah memaksanya harus begini atau begitu. Meski begitu Rumi tahu diri. Hidup di desa, seorang anak gadis tidak boleh bertingkah sesuka hati. Usia 30 tahun belum juga menikah bisa dianggap tak laku, perawan tua kasarnya. Walaupun mungkin sudah ketetapan hati, tetapi di mata masyarakat desa itu bisa jadi pamali. Serba salah.
Selain masalah kehidupan yang lebih layak, pemikiran Rumi sepertinya juga tidak mau dikungkung dengan cara dan kebiasaan Desa Kluwung. Apakah pendidikan di sekolah mempengaruhinya? Ia pun tak bisa menjawab pasti. Yang pasti Bapak dan Ibu Guru di sekolahnya dulu selalu menyarankan agar Rumi melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah di kota provinsi.
Kepulangan Mbak Parti, seorang tetangga, yang usai bekerja dari negeri jiran semakin mengoyak teguh pendirian Rumi. Dilihatnya Mbak Parti demikian anggun dengan dandanan busana terbaru. Giwang, kalung, dan gelangnya berdencing-dencing seakan bernyanyi. Terbit kekaguman dalam hati Rumi. Baginya Mbak Parti adalah cerminan kesuksesan.
Mbak Parti dulu hanyalah tamatan SMP. 5 tahun lalu ia berangkat ke negeri jiran, menjadi pembantu rumah tangga katanya. Dalam pikiran Rumi, kalau tamatan SMP saja bisa sukses, tentu ia yang tamatan SMA bisa berbuat lebih.
Angan-angan Rumi terus melambung tinggi. Iming-iming dari Mbak Parti terus menggodanya.
##
“Rumi, kenapa kau belum kunjung tidur, Nduk? Tak baik wanita tidur terlalu malam, pamali.”
Emaknya sedikit gusar melihat Rumi duduk diam di kasur sembari memeluk kedua kakinya. Rumi tersenyum kecut. Ia mencoba tak memancarkan kegundahan dari mukanya. Ia tak tega sama sekali melihat muka emaknya yang sudah berkerut dan kelihatan semakin tua.
“Aku menikmati sinar rembulan itu, Mak.”
“Ah, kau ini ada-ada saja. Sudahlah sana cepat tidur, besok kita mesti bangun subuh seperti biasanya.”
Rumi akhirnya menurut. Ditutupnya jendela yang tadi sedikit dibukanya dan menangkupkan korden lusuhnya. Kemudian, ia membenamkan tubuh dalam selimut. Matanya yang belum ingin terpejam dipaksa-paksakannya menutup.
Sayup-sayup terdengar suara jangkerik dan serangga-serangga malam menyayat hening. Jauh di sana, ada jerit katak seperti mengiba memohon turunnya hujan.
##
Kembali, adzan Subuh mengumandang memecah sunyi Desa Kluwung. Rumi terjaga seperti biasanya. Tak lama, ia telah membasuh badan dengan kesegaran wudlu, meski kadang ia masih menggigil bergemeletuk.
Berbekal keranjang besar, ia kembali melewati harinya. Memetik, memilah, mencuci, kemudian menjual sayur ke pasar kecamatan, seperti biasanya. Batinnya menjerit lirih. Dilematis. Ia tak tega jika melihat emak dan bapaknya terus seperti itu tanpa ia bantu, pun ia tak kuasa menatap suram masa depannya.
##
Rumi merasa sendiri di tengah hiruk-pikuk pasar. Dipandanginya seja emaknya yang sedang sibuk menata sayur. Sesosok wanita tua yang tegar. Dia tak pernah mengeluh pada kehidupan, pada nasib, pada keadaan. Tiba-tiba Rumi merasa malu hati. Akankah aku setegar emak?
Coba diikutinya emak yang menata sayur mayur, walaupun hatinya sendiri sedang tak tertata. Saat ini ia kacau balau. Tidak! Aku tidak mau terus-menerus seperti ini. Aku harus bisa berubah, harus!
Tetapi, mampukah ia meninggalkan Desa Kluwung?
##
Secercah senyum menghiasi bibir Rumi. Pekan depan adalah hari yang paling ditunggunya. Hari itu adalah hari yang akan mengubah sejarah hidupnya. Betapa tidak, keinginannya untuk mengubah nasib akan segera terkabul. Dia tidak akan selamanya dikelilingi hamparan sayur mayur menyesakkan jiwa itu.
Berbekal petunjuk dari Mbak Parti, Rumi mendapatkan informasi tentang pekerjaan di luar negeri. Keinginannya untuk bisa mengadu nasib di negeri orang sudah demikian menggebu. Malaysia adalah negeri yang didambanya. Betapa menggiurkan cerita tetangga sepulang bekerja dari sana. Dia bisa mendapat banyak uang, membikin rumah, hingga nanti bisa mengentaskan Emak dan Bapak dari hamparan sayur mayur yang membelenggu itu. Impiannya selama ini terasa semakin dekat.
“Kalau memang itu kemauanmu sendiri, Nduk, Bapak dan Emak manut saja. Kamu sudah dewasa, sudah mampu menentukan arah lakumu sendiri. Hanya saja ingatlah, selalu baik-baik menjaga diri di negeri orang. Berdoalah selalu pada Gusti, mohon perlindungan dan pertolongan-Nya selalu. Kamu sendirian tiada sanak di sana, Nduk.”
Bapak didampingi Emak bernasehat panjang lebar pada Rumi. Walau sangatlah berat, mereka berdua merelakan juga si bungsu itu pergi. Air mata yang hendak menetes sekuat tenaga mereka bendung. Biarlah membanjir dalam hati. Meski dari mata Emak menitik juga rasa sedih yang meleleh. Mereka tak sampai hati menggoyahkan impian Rumi. Ia sudah mantap!
##
Roda nasib terus berputar cepat dan tiada peduli. Terkadang nasib ada di atas, terkadang menggelinding jauh ke bawah, melibas lindas angkuh sombong manusia.
Rumi terjaga dari lelap mimpi. Gigitan nyamuk sedari tadi mengganggunya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan barak penampungan, rupanya mereka juga masih tertidur.
Mereka, yang punya keinginan sama seperti dirinya. Mereka ingin mencari napas baru yang lebih baik. Di negeri sendiri mereka seolah tiada harapan lagi. Mereka lebih mengharap pada matahari yang seolah bersinar lebih terang di seberang. Mereka orang-orang hebat yang berani meretas rintangan, mencoba mengukir harapan.
Mereka, termasuk Rumi, sedang menunggu diberangkatkan dari barak penampungan. Sudah tiga hari mereka terkatung di penampungan. Menurut janji penyalur, dua hari lagi mereka akan segera diberangkatkan.
Rumi menuruni tangga barak. Terbiasa bangun di Subuh hari, ia hendak mengambil air wudlu dan segera menunaikan salat. Diingatnya selalu pesan Emak dan Bapak agar selalu memohon pada Gusti Ingkang Maha Welas Asih.
Namun, langkah Rumi tiba-tiba terhenti. Telinganya menangkap sesuatu yang menyentak jiwa raganya. Saat itu, ia mendengar suara dua orang lelaki, yang ia kenali sering mondar-mandir di depan barak penampungan sebagai penjaga, tengah berembug dengan seseorang yang tak ia kenal. Mereka terdengar sedang merencanakan sesuatu. Sambil mengendap-endap, ia mencoba memperjelas pendengarannya. Keremangan subuh membantu menyembunyikan tubuhnya.
“Kapan mereka akan dikirim? Bos sudah lama menunggu, tau!”
Orang yang tak ia kenal itu bertanya kepada kedua penjaga barak penampungan.
“Kemungkinan besok malam lah. Aku tidak mau berisiko dengan polisi. Kamu tahu sendiri kan saat ini sulitnya bukan main menembus mereka?”
“Oke. Tenang saja. Wanita-wanita itu pasti dihargai mahal oleh bos. Setelah mereka sampai di Thailand dan Jepang, bayaranmu akan segera ditransfer.”
“Lalu, bagaimana dengan resiko keamanan di perjalanan nanti? Aku minta bagian lebih untuk itu.”
“Itu bisa diatur lah. Oke, kalau begitu, aku cabut dulu. Awas jangan sampai ada yang curiga! Juga jangan sampai ada yang lepas, bahaya kita nanti.”
“Siap, Bos.”
Mendadak tubuh Rumi bergetar hebat. Jepang? Thailand? Bukankah aku tak pernah mendaftar ke dua negara itu? Kenapa pula kedua penjaga itu harus takut berurusan dengan polisi?
Otak Rumi berkecamuk. Bagaimana sekarang? Tiba-tiba, dia merasa sangat rindu dan bersalah pada emak dan bapak. Wajah Emak, Bapak, panorama Desa Kluwung, lukisan hamparan kebun sayur yang luas berdesingan di pikirannya kini. Emak dan bapak seolah memanggil-manggil, pulanglah, Rumi, pulanglah sayang …
Rumi bergegas menyibak gelap Subuh. Ke mana? Ia pun tak tahu. Yang penting, ia segera menjauh dari tempat itu. Lekas-lekas menjauh. Ia menyibak ilalang setinggi dadanya, menyibak lebat semak-semak yang menorehkan luka di kedua tangannya, ia masuk ke dalam hutan pinus. Rumi baru tersadar, barak penampungannya terletak layaknya persembunyian saja, jauh sekali dari pemukiman penduduk. Rumi berlari dan terus berlari.
Rumi baru terhenti ketika kaki kirinya tak sengaja terantuk sebatang pinus yang tumbang, persis di tepian jalan raya. Seketika, sekeliling terasa berputar semakin cepat baginya. Pohon-pohon pinus berkelebat sangat cepat mengepungnya. Kegelapan semakin bertambah gelap hingga akhirnya hilang semuanya. Ia terkapar di tepian aspal.
##
Di ruangan serba putih bersih, dengan orang-orang berseragam putih-putih pula, Rumi terbaring tak berdaya. Wajahnya pucat pasi bagai kapas. Ketika perlahan ia membuka mata, sontak gembiralah orang-orang berseragam di sekelilingnya.
“Alhamdulillah, dia sudah siuman.”
“Cepat panggil dokter!”
Rumi tak begitu peduli, ia sudah sangat rindu dengan Bapak, Emak, dan Desa Kluwung.
***
*Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen Lazuardi Pemikat hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
~ Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini. Komentar Anda sangat berharga bagi saya. Jangan ada spam, SARA, pornografi, dan ungkapan kebencian. Semoga bermanfaat. ~