Oleh:
Ahmad Khoirus Salim
Menikmati suasana langit senja, itulah yang biasa aku lakukan untuk
melepaskan segala kepenatan rutinitas. Aku biasa duduk berlama-lama di atas
batu di tepian hutan ini. Letaknya memang tidak seberapa jauh dari pondok
sederhana yang kutempati. Bagiku, langit senja memberikan selaksa kekuatan
baru. Langit senja tiba-tiba saja memberiku suntikan energi saat aku jenuh dan
jengah kala memikirkan segala pekerjaanku.
Jika kuperhatikan tumpukan kayu gelondongan di samping pondokku, ada
berjuta tanya menyelinap di hati. Kenapa harus kulakukan semua ini? Mungkin aku
terlalu naïf, terlalu munafik. Aku jengah dan jenuh dengan pekerjaanku, tetapi
aku mesti tetap saja melakoninya. Aku sadar, dari hasil inilah keluargaku dapat
terus mengepulkan asap dapur, pun kebutuhan sehari-hari dan yang paling
penting, sekolah anakku.
Pelan-pelan aku beringsut meninggalkan tempat favoritku itu. Senja sudah
semakin menghitam. Kelelawar mulai berkelepak mencari penghidupan.
Binatang-binatang malam mulai riuh bersuara. Aku kembali ke pondok yang sumpek
oleh gelak tawa dan asap rokok. Di situlah aku dan beberapa kawan menghabiskan
malam dingin dan sepi.
##
Sambil mengasah kapak, kudengarkan siaran berita pagi dari radio
transistor butut yang sengaja kubawa dari rumah. Itulah satu-satunya hiburan di
tengah hutan seperti ini, lumayan sebagai pengusir sepi dan suntuk.
“Saudara pendengar di manapun anda berada, menurut kabar dari Badan
Meteorologi dan Geofisika, diperkirakan dalam beberapa hari ini cuaca buruk
akan melanda sebagian wilayah Indonesia. Di beberapa daerah, hujan akan turun
dengan intensitas cukup tinggi. Angin pun kan bertiup cukup kencang. Dimohon
kepada masyarakat agar tetap waspada menghadapi berbagai kemungkinan …”
Ah, ramalan cuaca. Kadang bisa benar kadang pun tidak terjadi. Jika
benar, alamat repotlah kami dibuatnya. Hujan tentu akan sangat menyulitkan
kelancaran pekerjaanku. Suasana di hutan pun akan semakin dingin menyayat
tulang. Aku berharap semoga saja ramalan cuaca itu agak-agak meleset dan tak
terjadi.
“Man… Parman! Ayo cepat sedikit! Kita sekarang ke arah selatan. Di sana
masih lumayan banyak. Sebelah timur sudah hampir habis, tinggal yang
kecil-kecil.”
Teriakan Barjo sedikit mengagetkanku. Dia tampak sudah siap dengan segala
piranti dan perbekalan. Segulung tambang melingkar di bahu kanannya. Gergaji
mesin dan parang pun siap pula di tangan dan ikat pinggangnya. Sementara itu,
aku belum bersedia apa-apa.
“Gundul dan Masno ikut juga?”
Aku belum melihat kedua kawanku yang lain.
“Mereka akan membereskan bagian timur yang masih tersisa. Sayang kalau
dilewatkan. Masih ada kok yang mau menampung walau ukurannya masih segitu.”
Apa?! Aku berteriak terkejut dalam hati. Bagian hutan sebelah
timur sudah teramat mengenaskan kondisinya, kenapa masih disakiti terus?
Padahal, pohon yang masih kecil-kecil itu merupakan cadangan masa mendatang.
Jika benar-benar dihabiskan oleh kedua kawanku itu. Aku benar-benar tak habis
pikir. Aku takut mereka tak lagi bekerja berdasarkan kebutuhan, melainkan
keserakahan semata. Diam-diam timbul sesalku dalam hati, kenapa aku sampai
mengikuti mereka…
“Ayo cepat, Man!” lagi-lagi teriakan itu menyentak gendang telingaku. Aku
tak punya alasan lagi. Ah, sudahlah.
Begitulah rutinitas kami setiap hari. Sering kudengar di siaran berita
lewat radio transistor bututku setiap pagi, rutinitas seperti ini amat sangat
dilarang oleh pemerintah. Berbahaya bagi kelangsungan habitat hutan, illegal
… illegal loging atau apalah itu namanya, kurang paham aku sengan bahasa
Inggris.
Yang kuyakini dan kubenarkan seratus persen adalah akan adanya dampak buruk dari
rutinitas kami ini. Aku sering merasa berosa, sangat berdosa. Kami telah
merusak alam, kami mengobrak-abrik rumah-rumah nyaman para binatang penghuni
hutan. Kami menghancurkan belukar-belukar rimbun penuh keindahan. Kami kejam,
aku biadab. Kami lebih buas dari binatang-binatang buas liar manapun.
Namun, aku juga tidak bisa naïf. Sekali lagi ini adalah pilihan teramat
sulit. Aku dan keluargaku butuh makan dan lain-lainnya. Anakku harus
bersekolah, biar tidak bodoh seperti bapaknya ini. Semenjak di-PHK tanpa alasan
jelas dari pabik furniture itu, aku kebingungan lontang-lantung menjadi
pengangguran. Sementara, hutang-hutang semakin melilit. Beruntung, sebulan
berlalu, tawaran dari Barjo membuatku lega. Aku bisa kembali menggapai rejeki
meski hati kecilku sering berontak.
##
Dua minggu sudah kami berdiam di hutan. Rencananya kami akan tinggal
sampai sebulan. Tentang kebutuhan pangan dan lain-lain, ada tetangga kami yang
menyuplai setiap seminggu sekali. Dia orang yang sangat kami percaya. Sudah
lama dia bekerja sama dengan kami. Dia datang dengan perahu, menyusuri sungai
di tengah hutan. Lewat sungai itu pula kayu-kayu yang kami kumpulkan biasa
diangkut penadah.
Selama di hutan, aku merasa banyak hal yang menghilang. Kicau burung yang
seringkali menghiburku di pagi hari entah kenapa semakin menjauh.
Binatang-binatang lainnya juga sudah jarang kutemui. Tidak ada lagi kijang atau
kancil yang biasanya sering kupergoki tiba-tiba melintas di jalan. Tidak ada
lagi auman raja hutan yang mendirikan bulu roma. Tidak ada lagi
teriakan-teriakan primata yang memekakkan. Di mana semuanya?
Hari ini, tetangga kami akan datang membawakan kebutuhan hidup kami. Kali
ini aku yang bertugas menjemputnya di tepi sungai. Aku menunggunya dengan sabar
di tepian sungai. Akhirnya, tak lama dia datang.
“Ada salam dari istri dan anakmu,” katanya padaku saat merapatkan
perahunya ke tepian. Aku tersenyum.
“Tidak biasanya dia berkirim salam padaku.”
“Kangen mungkin, kupikir dia ingin kamu cepat pulang.”
“Katakan padanya, masih dua minggu lagi aku di hutan. Biasanya juga aku
pergi sebulan lebih.”
Kuangkuti karung dari dalam perahu, isinya bermacam-macam.
“Oh ya, bagaimana kabar anakku?”
“Baik-baik saja. Malah dia mengingatkan kalau minggu awal bulan depan kau
harus di rumah. Dia akan menerima raport. Jangan sampai lupa.”
“Sip lah. Pasti dia dapat ranking lagi, he he he.”
Bangga sekali aku setiap mengingat hal itu. Aku berdiri di samping anakku,
kami berdiri gagah di podium dan dia
menggenggam piala dari kepala sekolah.
##
Akhir-akhir ini, keanehan di hutan semakin menjadi. Sepi terasa semakin
menyayat, terutama di siang hari. Hanya pada malam hari erikan jangkerik masih
menghiasi suasana.
“Masa kamu tidak paham dengan hal itu?”
Masno memandangiku dengan senyum kecut. Bibirnya tak henti mengepulkan
asap.
“Itu semua terjadi karena apa yang kita lakukan. Hewan-hewan itu, mereka
merasa terganggu dan pergi menjauh. Rumah mereka sudah hancur. Mereka mencari
tempat yang lebih nyaman. Tak tahu ke mana mereka pergi.”
Aku semakin merasa hina dan berdosa.
“Hanya … hanya karena itukah?”
“Itu yang paling utama. Kemungkinan yang kedua, ah, lebih
membahayakan bahkan untuk kita.”
“Apa kemungkinan kedua itu?”
“Begini, hewan memiliki insting yang sangat peka. Salah satu kepekaan
mereka yaitu dapat merasakan akan adanya suatu bencana. Karena itu, mereka
bergegas pindah ke tempat yang dirasa lebih aman. Misalnya saat akan terjadi
banjir atau hujan badai, mereka akan pindah ke daerah yang lebih tinggi.”
Aku teringat sesuatu. Seminggu lalu kulihat serombongan burung terbang
beriringan dari hutan menuju bukit sebelah barat. Bukit itu memang paling
tinggi di antara yang lain. Apakah itu juga suatu pertanda? Apakah prakiraan
cuaca yang sempat kudengar dari radio bututku benar-benar akan terjadi?
“Bisa jadi,” Masno menyahut serius.
“Kita harus waspada setiap saat. Kang, sebenarnya, aku tidak enak hati
bekerja seperti ini.”
Masno berkata kelu. Aku terhenyak, ternyata pikiran Masno sama denganku!
“Benarkah? Aku juga demikian, No.”
“Apa boleh buat, pekerjaan ini terpaksa kulakukan untuk hidup, yah…
lagi-lagi untuk hidup,” dibuangnya puntung rokok dengan getir.
Hhh … untuk hidup… benar, hanya untuk hidup. Aku maupun Masno selalu
berharap ada sepasang sayap ajaib yang akan membawa kami terbang jauh, jauh
meninggalkan damai di hutan ini.
##
Hari-hari terus berlalu. Kujalani semuanya tanpa semangat dan gairah
lagi. Masno pun kuperhatikan serupa, lesu.
Seperti pagi ini, bertemankan secangkir kopi dingin, sedingin sinis pagi,
aku menikmati ketaksemangatanku. Beberapa hari ini turun hujan cukup deras,
persis seperti ramalan cuaca. Aku kuatir, kemarin kayu-kayu yang telanjur
diceburkan ke sungai berhanyutan, raib ditelan banjir.
Jika cuaca begini terus, alamat buruk buat kami semua. Hasil tebangan
musnah, keselamatan kami pun terancam. Pohon-pohon sudah kami tebangi, longsor
kini menghantui setiap saat. Hanya berharap dan berdoa yang bisa terus kami
lakukan, kami hampir putus asa.
Kuputar tombol tuner radio bututku. Hendak kudengar warta pagi
ini.
“Pendengar sekalian, hujan yang turun terus-menerus selama beberapa
har iterakhir ini telah menyebabkan banjir dan tanah longsor. Ada beberapa
pihak yang berpendapat, bencana ini disebabkan adanya pembalakan liar di
kawasan hutan. Sampai berita ini diturunkan, desa yang terkena banjir dan
longsoran tanah adalah desa …, …., ….”
Batinku terpukul. Salah satu desa yang disebut oleh penyiar radio itu
adalah desa tempat tinggalku. Kupandangi Masno yang juga terperanjat. Tanpa
berpikir panjang lagi, kami berdua bergegas meninggalkan pondok dan berlari
menuju sungai. Kami harus tiba secepatnya di desa. Tak kupedulikan teriakan Barjo
dan Gundul yang mencoba mencegah. Tak kupedulikan banjir yang masih melanda
sungai. Aku dan Masno mendorong perahu dengan hati gemuruh.
Aku teringat salam istriku, cepat pulang Kang. Entah bagaimana
nasibnya sekarang? Aku teringat raport anakku. Aku ingin sekali mengambilkannya
dan mendampinginya di atas podium.
*Cerpen ini terpilih sebagai pemenang 2 lomba menulis cerpen Komunitas Ayo Menulis Bengkulu. Terbit dalam bentuk buku antologi berjudul "Lukisan Merah Putih".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
~ Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini. Komentar Anda sangat berharga bagi saya. Jangan ada spam, SARA, pornografi, dan ungkapan kebencian. Semoga bermanfaat. ~